20110205

halte dan hujan itu (cerpen)


“jatuh cinta juga paling cinta-cintaan. Cintanya cinta monyet.” Gitu Nisa bilang waktu aku nanya-nanya tentang hal pacaran.
“lo tau gimana sakitnya ditinggalin pacar?” aku cuman geleng-geleng kepala.
“ah lo sih tiap kali ada yang nembak ingin jadi pacar lo, malah ditolak mentah-mentah. Angga, Haris, Roni, Ivan. Siapa lagi coba yang lo tolak?” kata Nisa sambil mondar-mandir kaya setrikaan.
“gue ga mau dulu pacaran ah. Lagian gue lebih seneng banyak temen dulu.” Ucapku sambil maenin boneka yang ada dikamarnya Nisa.
“iya gue ngerti. Tapi lo ga mau apa ngebagi waktu lo buat mereka? Cowo yang suka sama lo?” Nisa mulai ngegodain.

 
“ih lo apaan sih?”
“heh denger yaaa, lo tuh terlalu serius sendiri ama karier and sobat-sobat lo. lo juga gak pernah mikirin diri lo sendiri. Kalau sebenernya lo itu butuh mereka ada di samping lo. apalagi lo termasuk anak yang orang tuanya pada sibuk semua. Apa lo gak ngerasa kesepian?” “emangnya semua bakal berubah lebih baik kalau gue punya cowo?” tanyaku polos.
“I don’t know.” Kata Nisa sambil mengangkat bahunya.
“lo aja ga bisa mastiin kan? Ya udah terserah gue.” sambil ngacak-ngacak rambut Nisa.
“ih dasar lo yah.” Sejenak kami terdiam. Entah apa yang Nisa fikirkan di kepalanya. Tapi aku masih memikirkan kata-katanya tadi. Memang benar, kadang aku inginkan seorang teman dekat disampingku. Tempat untuk berbagi keluh kesah, atau mungkin juga tempatku untuk mengadu tentang semua hal yang ku lewati hari ini.
“heh, jangan ngelamun lo Fa! Eh lo kenal kan sama yang namanya Wisnu?” tanya Nisa tiba-tiba.
“iya. Emang kenapa? Waktu di SMP kita satu kelas.”
“oh. Engga sih.”
“kenapa lo? naksir ya? Dia kan lumayan ganteng juga.”
“ih apaan sih lo? gue satu ekskul sama dia. Orangnya gimana sih?”
“kenapa? Suka ya bilang aja kali. Lagian dia juga jomblo.”
“wah? Masa sih?” tanya Nisa antusias.
“tuh kan bener lo suka ya?”
“hehehehe dikit sih. Habisnya gue suka gayanya. Tinggi, idungnya mancung, cool gayanya, anak band pula.”
“tuh kan lo juga udah tau dia kaya gimana. Emang lo beneran  suka ama dia?”
“yaa gitu deh. Habisnya dia baik banget gitu. Waktu gue kebingungan sama alat music apa yang mau gue pegang pas latihan, dia ngebantu gue ngasih saran.” Kata Nisa sambil ngebayangin wajahnya Wisnu.
“udah deh lo. jangan banyak ngehayal. Hahaha.”
“ih lo sirik aja. Daripada lo ga punya perasaan apa-apa sama cowo-cowo ganteng.”
“ah dasar aja lo kecentilan. Radit mau lo simpen dimana tuh?”
“hehehe kan cuman iseng aja Fa.”
“eh gue balik yah. Sore nih, gue takut tar nyokap telfon ke rumah terus Bi Sumi bilang gue belum pulang kan gawat tuh.”
“okey deh anak mami.” Nisa mulai membalas ejekan ku. “lo pulang sama siapa? Mau gue minta biar supir gue anterin?”
“ga. Ga usah. Gue dijemput ko sama temen gue.”
“alah temen apa temen?”
“ih udah deh ah. Gue pulang yaa. Bye.” Aku keluar dari kamar Nisa dan berjalan menuju pintu keluar. Hmmm seandainya saja dia tau, kalau sebenernya Wisnu lah yang menjemputku  hari ini mungkin dia sudah merengek untuk ikut ke rumahku.
Akhirnya mobil Wisnu mulai keliatan dari ujung jalan sana. Aku melambai-lambaikan tangan ku ke arah mobil biru itu. Dan sepertinya Wisnu melihat lambaian tanganku.
“udah lama nunggu?” tanya Wisnu dari dalam mobil.
“gak ko.” Balasku sambil tersenyum.
“yuk masuk.” Aku mengikuti perintahnya dan duduk di jok sampingnya dimana ia duduk.
“rumah siapa sih? Ko sore banget pulangnya?”
“itu temen gue di bimbel. Namanya Nisa. Pasti lo ga aneh ya sama namanya? Apalagi kalau lo liat mukanya pasti kenal deh.”
“hmmm.. bentar deh. Nisa? Sekolah dimana? Satu sekolahan ya ama Lo Fa?”
“kaga sih. Dia kan temen bimbel gue. Dia malahan satu sekolahan sama lo. masa gak kenal sih?”
Wisnu mengangkat bahunya, tandanya dia tak mengenal Nisa. Padahal Nisa jelas mengenalnya malahan mengaguminya.
“yaudah deh. Lupain aja.”
“eh, besok gue ada acara manggung nih. Lo dateng ya Fa!” pinta Wisnu kepadaku. “beres gue manggung, gue mau traktir lo makan and ngenalin lo sama temen-temen band gue yang baru.”
“loh emangnya lo ga tampil sama band lo yang biasa?”
“kaga. Mereka lagi sibuk sama karya tulisnya.”
“ohh gitu.”
“mau yah? Please, gue jemput deh ke rumah.”
“liat besok deh. Gue ga enak badan nih.”
“oh iya iya. Gue ga maksa ko.” Wisnu mengalah. Sepertinya ia sudah mengenal kondisi ku. Aku yang sedikit lemah, terkadang mudah sekali sakit jika sudah berbaur dengan yang namanya ‘lelah’.
“thanks yaa.” Ucapku sebelum turun dari mobilnya.
“iya sama-sama. Makan, minum vitaminnya terus tidur ya. Please, biar lo bisa cepet fit lagi.” Kata Wisnu penuh perhatian.
“ok.” Aku tersenyum lalu turun dari mobilnya dan masuk ke rumahku.
***
“baru pulang neng?” tanya Bi Sumi saat aku mengambil air minum di kulkas.
“iya bi. Hari ini mamah ada telfon ga?”
“ga ada neng. Biasanya jam makan siang ibu suka telfon. Tapi sekarang engga neng. Emang nya ibu ga sms ke eneng?”
“gak Bi. Sibuk kali yah.” Ucapku sedikit kecewa dengan sikap mamah kepadaku.
Aku duduk di kursi sofa ruang tv. Masih terngiang di telingaku tentang kata-kata Nisa sewaktu aku main ke rumahnya. Aku memang telalu memikirkan dunia orang lain bahkan terlalu perhatian, tanpa ku sadari ternyata aku sendiri juga butuh mereka di sampingku. Seperti sekarang ini. mana ada orang yang mau peduli kepadaku. Jangan menyalahkan mereka. Karena ini salah ku. Aku yang tak mau membuka diri untuk mereka. Aku menghela nafas panjang. Dan aku harus terima ini. kehidupan ku di rumah, hanya antara aku dan bibi. Di luar sana mungkin lebih banyak lagi, tapi ku rasa itu buka dunia ku.
“neng mandi dulu atuh, terus itu makan. Udah bibi siapin. Yu kita makan neng!” ajak bibi penuh perhatian, melebihi perhatian mamah.
“iya deh bi. Aku mandi dulu ya.” Aku beranjak dari tempatku duduk lalu berjalan menuju kamar. Aku mandi lalu ku lakukan apa yang Wisnu dan juga Bibi perintahkan kepadaku. Malam minggu ini sepertinya akan ku habiskan saja dengan tidur. Karena badanku benar-benar butuh istirahat tidur malam yang lumayan panjang.
***
Rahma, satu lagi sahabat dekatku di kelas XI. Anaknya terlalu lincah, bawel dan kadang berlaga kaya anak kecil yang sering jadi bahan becandaanku. Pagi-pagi sekali Rahma sudah datang ke rumahku. Bagiku jam 9 di hari Minggu itu masih terlalu pagi. Contohnya saja aku. Aku masih terbaring di kasur dengan mimpi yang sempat tertunda. Tapi Rahma sudah siap untuk menemani hari liburku ini. aku yang masih bermalas-malasan di kamar, terpaksa harus bangun dan menyambut kedatangan Rahma yang masuk kamar ku tiba-tiba.
“Refa.. refa .. Refa..” suara Rahma membangunkan ku dari mimpi gak jelas ini.
“ih apaan sih?” aku kembali menarik selimut yang Rahma tarik.
“eh bangun. Lo males amat sih jam segini belum bangun. Perawan tuh harusnya udah bangun, nyapu, ngepel, masak, udah mandi juga. Ini masih tiduran aja di kamar.” Omelan Rahma mulai berkumandang di kamarku. Persis seperti omelan nenek saat aku berlibur di kampung halamannya itu.
“aduh lo bawel amat sih.” Aku masih memejamkan mata dan menarik selimut menutupi seluruh tubuhku.
“kebiasaan jelek tau. Bangun ihhh Refa.” Rahma menarik selimutku dan berhasil mengambil selimjut yang menghangatkan ku.
“ahhhh apa sih? Pagi-pagi lo udah nyari masalah aja.” Akhirnya aku terpaksa bangun sambil ngoceh-ngoceh.
“makanya bangun dong nyonya!” laganya kaya ibu-ibu sambil berkacak pinggang.
“ngantuk tau. Gue lagi ga enak badan. Dasar lo ganggu aja bisanya!” aku melemparkan boneka beruang putih dan Rahma berhasil lolos dari lemparanku.
“ah sial lo. udah ah gue mau mandi dulu.” Aku beranjak dari tempat tidurku meski badanku lemas sekali saat itu.
Selesai keluar dari kamar mandi, aku kembali menemui mahluk cerewet di kamarku itu. Ia tampak asyik dengan cemilan dan computer di kamarku. Itulah kelakuan anak bawel yang satu ini. kerjaanya ngemil dan ngotak-ngatik game.
“heh, game mulu kerjaan lo.” aku mengagetkan Rahma dari belakang.
“ih biarin dong. Tanggung nih lagi seru.”
Aku duduk di kasur biru kamarku. Ku biarkan Rahma asyik dengan laptop ku itu. Badan ku lemas, kali ini benar-benar lemas. Kepala ku yang terasa ringan, tiba-tiba saja terasa sangat berat sekali. Aku tak kuat menahan sakit ini dan ku baringkan badanku di kasur. Rahma masih asyik dengan laptop ku. Nampaknya ia belum sadar dengan keadaanku sekarang. Ingin ku teriak sekencang-kencangnya namun mulutku tak kuasa untuk mengeluarkan suara. Aku lebih kuat untuk meringis kesakitan.
“Refa.. refa lo kenapa?”
“kepala gue sakit banget.”
“badan lo dingin.lo kenapa?” Rahma keluar dari kamar dan memanggil bibi untuk menolongku.
“Refa lo harus kuat.” Rahma mulai menitikan air mata. Bibi yang juga kaget dengan keadaanku ini, berusaha untuk tenang dan segera memberi ku pertolongan pertama. Ia membantu ku untuk meminum obat yang sudah menjadi bagian hidupku sampai nanti aku menghembuskan nafas terkahir.
Aku mulai agak sedikit tenang. Perlahan ku buka mata. ku lihat bibi mulai tersenyum setelah keadaanku berangsur membaik.
“Lo gak apa-apa Fa?” pipi Rahma yang basah, ku elus lembut.
“Lo gak usah nangis kali, gue udah biasa kaya gini Ma.” Kataku lemas.
“Lo mau gue bawa ke rumah sakit?”
“gak usah. Jawaban dokter pasti masih sama. Gue telat minum obat. Umur gue gak lama lagi. Gue bosen sama kata-kata itu.”
“lo gak boleh ngomong gitu. Semua orang punya hak untuk hidup.”
“udah lo gak usah nangis.” Aku mencoba untuk bangun lalu bibi membantuku. Ia menyeka rambutku yang berkeringat dingin ini.
“Gue gak mau kehilangan lo.” kata Rahma. Ia merangkul ku. Rangkulanya keras. Sangat keras. Ku biarkan saja Rahma menangis di bahuku. Aku tak ingin ia tau sakit apa sebenarnya aku ini. aku takut jadi beban dari bagian hidupnya. Bibi mengelus pundak Rahma. Dan mengerti akan suasana ini. ia keluar tanpa meninggalkan sepatah kata pun.
“Rahma..” ucapku lirih.
“kenapa?” ia mulai melepas rangkulanya.
“udah ah lo jangan nangis. Gue jadi sedih liatnya.”
“lo sakit apa?”
“gue gak apa-apa. Cuman sakit kepala biasa aja ko. Boleh ga hari ini gue istirahat dulu?”
“boleh banget. Tapi sebelumnya maafin gue udah ganggu tidur lo. gue gak tau bakal kaya gini.”
Aku tersenyum mengiyakan. “gue balik dulu ya.” Rahma pamit.
“tunggu bentar.” Aku meraih tangan Rahma dan memintanya untuk duduk lagi.
“bilang ke Wisnu, sorry banget gue ga bisa dateng ke acaranya sekarang. Gue titip salam ya buat dia.”
“iya ntar gue sampein. Sekarang lo istirahat aja ya.”
Rahma pergi meninggalkan ku di ruangan nuansa biru langit ini. aku manusia lemah yang hanya menunggu waktu untuk meninggalkan semuanya hanya bisa terbaring di tempat tidur.
Aku tau sekarang saat yang tepat untuk ku bilang perasaan ku ini kepada Wisnu. Tapi aku takut, benar-benar takut jika Wisnu tau yang sebenarnya tentang penyakit yang ku derita. Kanker otak bukan penyakit sepele. Mungkin mereka yang mengetahuinya akan merasa iba dan mengasihani diriku. Aku tidak mau ini terjadi. Usaha ku untuk menutupi ini semua berhasil. Buktinya hanya bibi dan aku yang tau tentang rahasia ini. 3 tahun sudah penyakit ini memakan waktu ku hanya untuk mengeluh, meringis atau mungkin menjerit kesakitan.
Lalu apa hak ku untuk hidup? Untuk mengungkapkan perasaanku ini saja, aku tak mampu. Terlebih sahabat ku pun menyukai pria yang sama. Bagiku Wisnu bukan hanya sekedar sahabat. Ia tempat ku bercermin. Meski ayahnya telah lama tiada, ia mampu menjadi anak kebanggan mamah nya. Aku tau ibunya orang sibuk seperti orangtua ku. Tapi ia mampu terus berjalan meniti hidupnya sendiri. Ia mampu membuka diri untuk kehidupan lain di luar kehidupan pribadinya. Tapi aku? Wanita lemah ini, hanya mampu bercermin tanpa membenahi mana yang terbaik untuk hidupku. Aku mencoba bangun dari lamunan ini. sudah seharusnya aku menjadi orang yang lebih kuat dan tegar. Aku bisa dan yakin pasti bisa.
Rintikan hujan yang menemani pagi ini membuat suasana semakin dingin. Aku bangun dan ku raih tirai penghalang jendela kamarku. Sepertinya memory terindah dari sekian banyak memory yang aku punya bersama Wisnu adalah saat-saat hujan ini. kembali ku mengingat saat pertama aku kenal denganya sambil menunggu jemputan di halte depan SMP kami. Hujan ini membuat ku enggan untuk pulang sendiri. Wisnu yang juga menunggu jemputan, menjadi teman ngobrol ku saat itu. Aku mengaguminya saat pertama kali masuk di Gugus yang sama. Tapi baru sekarang aku bisa mengenalinya lebih jauh.
“Halte dan hujan itu.Wisnu, gue sayang sama lo. andai lo tau semenjak pertama pertemuan kita itu.”
“ehm…”
Spontan aku membalikan badan saat ku dengar suara itu. Dan ku lihat di belakang ku sesosok pria berparas tampan sedang menemani lamunan ku ke masa-masa dulu.
“Sorry gue udah lancing kalau gue sebenernya suka sama lo Nu.” Aku tertunduk malu. Dan tak mampu menatap muka pria itu lagi.
“gue gak suka cara lo yang kaya gini. Kenapa lo gak bilang dari awal? lo tau kan gue bener-bener sayang sama lo? lo ngerti kan Fa?”
“maafin gue, gue Cuma takut kalau lo tau yang sebenernya tentang gue…”
“cukup Refa, gue sayang sama lo tulus. Ga mandang lo penyakitan atau kaga. Gue mau nemenin lo. gue mau itu Fa.”
“Tapi Nu…”
“please, kasih gue kesempatan ya.” Ia meraih tangan ku dan memohon penuh harap. Hatiku senang, tapi apa yang harus ku ucapkan? Aku takut ia menyesali kedatangan ku gi kehidupanya itu hanya sebagai beban belaka.
“lo mau kan jadi pacar gue?” Wisnu tertunduk. Jantungku berdebar tak karuan. Aku masih bimbang dengan pilihan ini.
“Wisnu,,,”
Ia mengangkat mukanya penuh harapan.
“gue sayang sama lo.” aku tersenyum lega untuk pertama kalinya kau berani mengungkapkan perasaan ku kepada pria yang aku sukai.
“gue sayang sama lo.” wisnu mengulang perkataan ku dan merangkul ku erat.
“cieeeee.” Suara bibi, Rahma dan Nisa mengagetkan ku. Ya Tuhan, ini ternyata scenario mereka.
“Nisa,, maafin gue.” Aku segera menghampiri Nisa yang baru saja masuk ke dalam kamarku.
“lo gak punya salah apa-apa kali. Tenang aja, gue seneng lo bisa jadian sama Wisnu. Dan ini lah yang selama ini kita harapkan Fa. Lo bisa nemuin pasangan yang cocok buat lo.”
Aku rangkul mereka satu persatu. Bibi merangkul ku erat sekali. Aku menangis di pelukanya. Hangat kasihnya tak bisa tertandingi. Aku lega sekali mempunyai orang-orang yang masih peduli dengan hari-hari terakhirku ini.
“Refa, Wisnu, langgeng yaaaa.” Ucap bibi sambil tersenyum ..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar